About Sawat
catatan singkat
(briefly notes)
(: "Catatan Singkat & Daftar Karya Wayan Sawat", Ron Puyundatu, Bali-Jakarta, 1977-2008)(briefly notes)
I WAYAN SAWAT
[1949-2010]
Wayan Sawat ( 1949– 14 Maret 2010 ), putera pertama Tjokot mulai dengan membantu ayahnya, lalu diajarkan perlahan-lahan. Hingga tahun 1971, ketika Tjokot meninggal Wayan Sawat mewarisi semangat Tjokot termasuk kepandaian memahat dan yang penting mendapatkan Lontar Suci waktu memandikan jenazah Tjokot. Sekeluarga Tjokot juga mencoba membuat karya masing-masing, a.l.: Ktut Nongos (dengan perawakan dan karakter lebih kekar menghasilkan karya patung yang besar dan tinggi), Njoman Kurdana, Gelis, Made Dini, Lantas, Mangku, Lempeh, bahkan cucu Tjokot yaitu Made Kanten dan Gde Amer. Lebih dari itu, ketenaran Tjokot membuat beberapa desa mengikuti gaya/corak Tjokot, karya pahatan akar kayu, yang paling banyak adalah di desa Jasan dan Pujung, yaitu desa-desa yang terletak diantara Jati dan Sebatu. Perkembangan selanjutnya tentu perlu dilihat kembali sebutlah gaya Tjokot dan Sawat, corak Nongos – Kurdana – Gelis – Lantas – Kanten. Lalu buatan Jasan, buatan Pujung. Satu pihak kita menyayangkan ‘peniruan’ oleh pembuat patung ‘gaya Tjokot’ karena “tidak mewarisi” spiritualitas dan inti jatidiri serta Lontar Suci, tetapi perlu direnungi betapa Tjokot telah membuat mereka bersemangat untuk bekerja. “ …. Mekarye, bekerja ….” Adalah hal yang baik.[1949-2010]
Perlu diperhatikan adalah manipulasi, yaitu karya patung yang bukan dibuat oleh Tjokot, tetapi disebut dan dijual sebagai karya Tjokot. Sampai di sini ketenaran Tjokot menjadi “ lebih sempurna “.
Karya Sawat
Namun penulis mendapati betapa karya Wayan Sawat semata-mata mengikuti, atau lebih tepatnya menjaga dan melanjutkan Tjokot. Sawat mewarisi kepandaian memahat ketika pada tahuntahun terakhir Tjokot sebelum meninggal telah mempercayakan Sawat bersamasama menyelesaikan karya-karya patung mereka. Diantaranya adalah 10 patung terakhir dan karya sebuah pohon besar di Rangdu Sono Solo, dan 1 karya dan tiang-tiang Museum Affandi di Jogja-Yogyakarta. Bekerja bersama adalah hal yang lumrah dalam mengerjakan sebuah karya seni di Bali. Sebuah gubahan musik gambelan maupun gerak-gerik tari Bali dikerjakan berdasarkan ingatan beberapa orang dan penafsiran dari ayat-ayat Lontar. Wayan Sawat beruntung diajarkan oleh Tjokot dapat membaca Lontar. Yang menarik adalah, setiap karya Tjokot yang sudah selesai (baik dibantu atau tidak oleh Sawat) tak mungkin ditiru oleh Sawat meskipun berjudul sama, misalnya: “Trisakti”, “Sato ngempu”, “Macan mebading”, “Sanghyang Mentjongol”, karena tidak ada bentuk kayu yang sama. Setiap akar kayu berbeda ceruk dan sulur-sulurnya. Maka masalahnya adalah, penafsiran Lontar, lalu ‘mencari’ dan ‘menunggu wahyu’, wangsit, inspirasi, mimpi; lalu mencari dan mendapatkan bahan akar kayu gintungan, jempinis, blalu, dll yang cocok yang tepat. Atau dapat juga sebaliknya dari melihat-lihat bahan akar kayu gintungan yang sudah ada diambil dari pinggir sungai, lalu mencari dan menunggu serta mendapatkan cerita dan maksud serta karakter judul dewa-dewi di Lontar. Dari proses awal sewaktu diajarkan dan bekerja bersama Tjokot, lalu bekerja sendiri nampak Sawat setidaknya memiliki penafsiran dan caranya sendiri. Bagi mereka yang tak mengenal dan menelitinya tentunya sukar menentukan mana karya Tjokot mana karya Sawat, hingga ada berita, dan sungguh memungkinkan, apabila seorang pedagang menawarkan karya Sawat sebagai karya Tjokot. Skandal perdagangan memang muncul dimana saja. Cara hidup dan karya yang dihasilkan Sawat memang seperti Tjokot, yang dengan begitu sekaligus berpotensi juga dalam menemukan jati diri dan bentuk karya aslinya. Beberapa karya Sawat, seperti: “Sanghyang Mentjongol”, “Sanghyang Puruwisesa”, lalu “Betari Durge ngemban lare”, jika ditampilkan bersama karya Tjokot akan merupakan suatu rangkaian karya seni patung akar kayu tradisi Bali yang sangat mempesona. Kehidupan kedua seniman ini yang sangat sederhana seapa-adanya, maupun karya-karya mereka yang menakjubkan yang dikerjakan antara 1 hingga 2 tahun tiap karya dengan kepasrahan dan kesungguhan hati yang kuat berdasarkan kesadaran mempersembahkan kehadirat Yang Mahaseni Nan Suci – Sanghyang Widi Wasa Tuhan Yang Mahakuasa, didalam proses pekerjaan seapa-adanya mengikuti potensi dan kemungkinan2 alamiah.
'Trisakti', Wayan Sawat, 1977
(photo oleh Firman Ichsan, Jakarta 2008)
(artikel lengkap harap hubungi : tjokot@gmail.com)
(: lihat juga '"Sculpture by Sawat", Manuel Luetgenhorst, Jakarta-Bali, 2005)
(: lihat juga '"Sculpture by Sawat", Manuel Luetgenhorst, Jakarta-Bali, 2005)